Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsugkan
perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 adalah sebagaimana yang disebutkan dalam
pasal 6 – 11 yaitu :
1) Adanya persetujuan kedua
calon mempelai (pasal 6 ayat 1) :
Syarat perkawinan ini memberikan jaminan agar tidak terjadi lagi adanya
perkawinan paksa dalam masyarakat kita. Ketentuan ini sudah selayaknya
mengingat masalah perkawinan sebenarnya meruapakan urusan pribadi seseorang
sebagai sebagian daripada hak asasi manusia. Sehingga oleh karena itu maka
sudah seharusnya apabila urusan perkawinan ini lebih banyak diserahkan kepada
keinginan masing-masing pribadi untuk menentukan pilihan sendiri siapa yang
akan dijadikan kawan hidupnya dalam berumah tangga.
2) Adanya izin kedua orang
tua/ wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (pasal 6 ayat 2 – 6):
Ketentuan UU No. 1 tahun 1974 yang mensyaratkan adanya izin kedua orang
tua/ wali untuk melangsungkan perkawinan bagi yang belum berusia 21 tahun ini memang sudah selayaknya dan
ini sesuai dengan tatakrama masyarakat kita sebagai orang Timur. Karena dalam
masyarakat kita mempunyai rasa kekeluargaan yang demikian kuat terutama
hubungan antara seorang anak dengan kedua orang tuanya/ keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas, maka perkawinan pun merupakan juga urusan keluarga.
Lebih-lebih yang akan melangsungkan perkawinan tersebut adalah anak yang belum
berusia 21 tahun, yang belum banyak pengalaman dan belum pernah merasakan suka
dukanya berkeluarga (berumah tangga), karenanya sudah seharusnya sebelum
melangsungkan perkawinan ada izin lebih dahulu dari kedua orang tua/ wali.
3) Usia calon mempelai pria
sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun
(pasal 7 ayat 1):
Ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak yang
masih dibawah umur. Dengan adanya ketentuan pembatasan umur calon mempelai ini
dimaksudkan agar calon suami isteri yang akan melangsungkan perkawinan sudah
matang jiwa raganya, sehingga dapat membina rumah tangga dengan sebaik-baiknya tanpa
berakhir dengan perceraian serta mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Kecuali itu ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami isteri
serta pengendalian angka kelahiran. Penyimpangan terhadap ketentuan ini
hanya dimungkinkan dengan meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat
lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
Dalam hal ini Undang-undang tidak menyebutkan apa saja yang dapat
dijadikan alasan untuk memberi dispensasi ini. Oleh karena itu maka tiap-tiap
keadaan pada setiap kasus akan dipertimbangkan oleh Pengadilan atau pejabat
lain yang ditunjuk. Sebagai misal calon mempelai wanita yang belum berusia 10
tahun telah hamil, maka untuk mencegah kenistaan wanita tersebut ia harus
segera dikawinkan dan agar supaya anak yang dilahirkannya kelak mempunyai bapak
sehingga tidak dinamakan anak haram jadah.
1)
Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam
hubungan darah/ keluarga yang tidak boleh kawin (pasal 8) :
Pada dasarnya larangan untuk melangsungkan perkawinan karena hubungan
darah / keluarga yang dekat seperti yang disebut pasal 8 Undang-undang No. 1
tahun 1974 ini terdapat juga dalam system hukum agama islam, BW maupun HOCI,
akan tetapi karena dalam pasal 8 UU No. 1 tahun 1974 itu dinyatakan bahwa
hubungan yang dilarang kawin juga adalah hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku dilarang kawin, maka larangan kawin dalam
undang-undang perkawinan tersebut mungkin akan bertambah dengan
larangan-larangan kawin menurut hukum agama atau peraturan lain tersebut.
Ketentuan yang demikian membuktikan bahwa Undang-undang No. 1 tahun 1974 telah menghormati sepenuhnya agama
dan kepercayaan dalam masyarakat. Oleh karena itu Prof. Dr. Hazairin, SH. dalam
bukunya Tinjauan Mengenai Undang-undang No. 1 tahun 1974 menyatakan
undang-undang perkawinan itu sebagai “suatu unifikasi yang unik dengan
menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
2)
Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (pasal 9)
Dalam pasal 9 UU No. 1 tahun 1974 menyatakan : Seorang yang masih terikat
tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal
yang tersebut pada pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
Pasal 3 menyatakan :
1.
Pada asasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami.
2.
Pengadilan dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Polygami menurut
UU No. 1 tahun 1974 hanya diperuntukan bagi mereka yang hukum dan agamanya
mengizinkan seorang suami beristeri lebih dari seorang.
Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri,
meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat
dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh
Pengadilan. Oleh karena itu
polygami tidak dapat dilakukan oleh setiap orang dengan sekehendak hati atau
asal dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan saja, tetapi polygami hanya
dapat dilakukan setelah ada izin dari Pengadilan. Untuk ini yang
bersangkutan wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Pengadilan di daerah tempat tinggal pemohon. Pengadilan hanya memberikan izin
kepada seorang suami untuk melakukan polygami apabila ada alasan yang dapat
dibenarkan dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. (pasal 4
ayat 2 dan pasal 5 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974).
Bagi pegawai negeri sipil pria yang ingin melakukan
polygami dan pegawai negeri sipil wanita yang ingin menjadi isteri kedua/
ketiga/ keempat, selain harus mengindahkan ketentuan umum seperti yang diatur
dalam UU No. 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemrintah No. 9 tahun 1975 ini, juga
harus mengindahkan ketentuan-ketentuan yang khusus yang termuat dalam Peraturan
Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian Bagi
Pegawai Negeri Sipil yang diundangkan tanggal 21 April 1983.
1) Bagi suami isteri yang
telah bercerai, lalu kawin lagi dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama
dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya (pasal
10) :
Dalam pasal 10 menyatakan : Apabila suami dan isteri
yang telah bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk
kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,
sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain
Dalam islam, suami isteri yang telah bercerai dua
kali, masih diperbolehkan untuk kawin ketiga kalinya. Akan tetapi bilamana
mereka bercerai lagi untuk ketiga kalinya, maka mereka tidak boleh kawin lagi,
kecuali bekas isteri yang telah bercerai tiga kali tersebut kawin dengan lelaki
lain dan kemudian bercerai maka dia boleh melakukan perkawinan kembali dengan
bekas isterinya yang pernah bercerai tiga kali.
1)
Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.
Dalam pasal 11 UU No. 1 tahun 1974 ditentukan bahwa wanita yang putus
perkawinannya, tidak boleh begitu saja kawin lagi dengan lelaki lain, akan
tetapi harus menunggu sampai waktu tunggu itu habis.
Menurut pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, waktu tunggu
tersebut :
1.
Waktu tunggu bagi seorang janda
sebagai dimaksud dalam pasal 11 ayat 2 undang-undang ditentukan sebagai berikut
:
a.
Apabila perkawinan putus karena
kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b.
Apabila perkawinan putus karena
perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga)
kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang
tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c.
Apabila perkawinan putus sedang
janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
2.
Tidak ada waktu tunggu bagi janda
yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan
bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
3.
Bagi perkawinan yang putus karena
perceraian, tenggang waktu tunggu di hitung sejak jatuhnya putusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap sedangkan bagi perkawinan yang putus
karena kematian tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
Ratio dari perturan ini adalah untuk menentukan dengan
pasti siapa ayah dari anak yang lahir selama tenggang waktu tunggu itu.
0 komentar:
Posting Komentar