Menurut
kekuatan berlakunya atau kekuatan mengikatnya, hukum perdata dapat dibedakan
atas hukum yang bersifat pelengkap (aanvullend
recht) dan hukum yang bersifat memaksa (dwingend
recht). Hukum yang bersifat
pelengkap adalah peraturan-peraturan hukum yang boleh dikesampingkan atau
disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, peraturan-peraturan hukum mana
yang hanyalah berlaku
sepanjang orang-orang yang berkepentingan tidak mengatur sendiri kepentingannya. Misalnya dalam pasal 1477 BW
ditentukan bahwa penyerahan harus terjadi di tempat dimana barang yang dijual
berada pada waktu penjualan, jika tentang itu tidak telah ditentukan lain.
Peraturan hukum ini bersifat
pelengkap, sehingga orang-orang yang mengadakan perjanjian jual beli suatu
barang boleh menyimpanginya
dengan mengadakan perjanjian yang menentukan sendiri tempat dan waktu
penyerahan tersebut. Pasal 1477 BW barulah mengikat dan berlaku bagi mereka
yang mengadakan perjanjian jual beli sesuatu barang, kalau mereka tidak
menentukan sendiri secara lain.
Hukum yang
bersifat memaksa adalah peraturan-peraturan hukum yang tidak boleh
dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan , terhadap
peraturan-peraturan hukum mana orang-orang yang berkepentingan harus tunduk dan
mentaatinya. Misalnya dalam pasal 39 Undang-undang No. 1 tahun 1974 ditentukan
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan berdasarkan
alasan yang sah yang telah ditentukan. Dengan demikian hukum perdata tidak
selalu berisi peraturan-peraturan hukum yang bersifat pelengkap, meskipun hukum
perdata merupakan bagian daripada hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan,
dan pada galibnya dibidang ini berperan kehendak individu yang bersangkutan,
melainkan ada peraturan-peraturan hukum yang bersifat memaksa, yang membatasi
kehendak individu-individu tersebut.
Hukum perdata
yang bersifat memaksa merupakan hukum perdata yang mengandung
ketentuan-ketentuan tentang ketertiban umum dan kesusilaan.
0 komentar:
Posting Komentar