Berlakunya hukum
dalam suatu negara ditentukan oleh Politik hukum negara yang bersangkutan,
disamping kesadaranan hukum masyarakat dalam negara itu. Untuk mengetahui apa
yang dimaksud dengan politik hukum hendaknya perlu diketahui terlebih dahulu
arti Politik Hukum. Arti Politik Hukum adalah Suatu jalan (kemungkinan) untuk
memberikan wujud sebenarnya kepada yang dicita-citakan. Dapat pula
dilihat pendapat Padmo Wahyono bahwa Politik Hukum adalah kebijakan dasar yang
menentukan arah, bentuk dan isi hukum yang akan dibentuk. Oleh karena itu
berdasarkan pengertian tersebut, suatu politik hukum memiliki tugasnya
meneruskan perkembangan hukum dengan berusaha membuat suatu ius
constituendum menjadi ius constitutum atau sebagai penganti ius
constitutum yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan
politik hukum berbeda artinya dengn ilmu politik, sebab ilmu politik memiliki
pengertian menyelidiki sampai seberapa jauh batas realisasi yang dapat
melaksanakan cita-cita sosial dan kemungkinan apa yang dapat dipakai untuk
mancapai suatu pelaksanaan yang baik dari cita-cita social itu.
Politik hukum
suatu negara biasanya dicantumkan dalam Undang-Undang Dasarnya tetapi dapat
pula diatur dalam peraturan-peraturan lainnya. Politik Hukum dilaksanakan
melalui dua segi, yaitu dengan bentuk hukum dan corak hukum tertentu.
Bentuk hukum
itu dapat:
(1) Tertulis
yaitu aturan-aturan hukum yang ditulis dalam suatu Undang- Undang dan berlaku
sebagai hukum positif. Dalam bentuk tertulis ada dua macam yaitu:
(a) Kodifikasi ialah
disusunnya ketentuan-ketentuan hukum dalam sebuah kitab secara sistematik dan
teratur.
(b) Tidak
dikodifikasikan ialah sebagai undang-undang saja.
(2) Tidak
tertulis yaitu aturan-aturan hukum yang berlaku sebagai hukum yang semula
merupakan kebiasaan-kebiasaan dan hukum kebiasaan. Corak hukum dapat ditempuh
dengan:
(1) Unifikasi
yaitu berlakunya satu sistem hukum bagi setiap orang dalam kesatuan kelompok
sosial atau suatu negara.
(2) Dualistis
yaitu berlakunya dua sistem hukum bagi dua kelompok social yang berbeda didalam
kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.
(3) Pluralistis
yaitu berlakunya bermacam-macam sistem hukum bagi kelompok-kelompok sosial yang
berbeda di dalam kesatuan kelompok sosial atau suatu negara.
Di atas telah
dijelaskan arti, bentuk, dan corak politik hukum, berikut ini dibahas Politik
Hukum bangsa Indonesia. Keberadaan Hukum di Indonesia sebagaimana telah
dijelaskan diatas sangatlah dipengaruhi oleh keberadaan sejarah hukum. Hal ini
dapat dilihat masih banyaknya undang-undang yang dibuat jaman Hindia Belanda
sampai sekarang masih berlaku. Selain itu, masuknya hukum Islam juga
mempengaruhi hukum di Indonesia, sebagian
permasalahan-permasalahan
perdata masih menggunakan hukum Islam.
Oleh karena
itu, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana politik Hukum Hindia Belanda
sehingga dapat memahami bagaimana Politik Hukum Indonesia. Keberadaan Politik
hukum Hindia Belanda dapat dilihat berdasarkan berlakunya 3 pokok peraturan
Belanda (sebagaimana dijelaskan diatas) yaitu masa berlakunya AB, RR dan IS.
Masa Algemene
Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B)
Pada masa
berlakunya AB politik hukum Pemerinthan penjajahan Hindia belanda dapat dilihat
dalam pembagian golongan dan berlakunya hukum bagi masing-masing golongan
tersebut. Pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Pasal 5 AB membagi kedalam
dua golongan, pasal ini menyatakan bahwa penduduk Hindia Belanda di bedakan
kedalam Golongan Eropa (berserta mereka yang dipersamakan) dan Golongan Pribumi
(berserta mereka yang dipersamakan dengannya).
Sedangkan hukum
yang berlaku bagi masing-asing golongan tersebut diatur didalam Pasal 9 AB dan
Pasal 11 AB. Adapun yang diatur didalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah
ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal
tersebut):
Pasal 9 AB
“Menyatakan
bahwa Kitab Undang-Undang Hukum perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum dagang
(yang diberlakukan di hindia belanda) hanya akan berlaku untuk orang Eropa dan
bagi mereka yang dipersamakan dengannya”.
Pasal 11 AB
“Menyatakan
bahwa untuk golongan penduduk pribumi oleh hakim akan diterapkan hukum agama,
pranata-pranata dan kebiasaan orang-orang pribumi itu sendiri, sejauh hukum,
pranata dan kebiasaan itu tidak berlawanan dengan asas-asas kepantasan dan
keadilan yang diakui umum dan pula apabila terhadap orang-orang pribumi itu
sendiri ditetapkan berlakunya hukum eropa atau orang pribumi yang bersangkutan
telah menundukan diri pada hukum eropa”.
Berdasarkan
ketentuan pasal tersebut, maka pemerintah penjajahan Belanda melaksanakan
politik hukumnya dengan bentuk hukum tertulis dan tidak tertulis. Bentuk hukum
perdata tertulis ada yang dikodifikasikan dan terdapat di dalam Burgerlijk
Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK); yang tidak
dikodifikasikan terdapat di dalam undang-undang dan peraturan lainnya yang
dibuat sengaja untuk itu. Sedangkan yang tidak tertulis, yaitu hukum perdata
Adat dan berlaku bagi setiap orang di luar golongan Eropa. Corak hukumnya
dilaksanakan dengan dualistis, yaitu satu sistem hukum perdata yang berlaku
bagi golongan Eropa dan satu sistem hukum perdata lain yang berlaku bagi
golongan Indonesia.
Membedakan
golongan untuk memberlakukan hukum perdataberdasarkan sistem hukum dari
masing-masing golongan menurut pasal 11 AB itu sangat sulit dalam pelaksanaannya.
Hal ini disebabkan tidak adanya asas pembedaan yang tegas walaupun ada
ketentuan pembagian golongan berdasarkan pasal 5. Dalam pasal 5 hanya
menyatakan orang Eropa, orang Bumiputra, orang yang disamakan dengan orang
Eropa dan orang yang disamakan dengan orang Bumiputra.
Pembagian
golongan menurut pasal 5 hanya berdasarkan kepada perbedaan agama, yaitu yang
beragama Kristen selain orang Eropa disamakan dengan orang Eropa dan yang tidak
beragama Kristen disamakan dengan orang Indonesia. Karena itu dapat dikatakan
bahwa bagi setiap orang yang beragama Kristen yang bukan orang Eropa kedudukan
golongannya sama dengan orang Eropa, berarti bagi orang Indonesia Kristen
termasuk orang yang disamakan dengan orang Eropa. Hal ini tentunya berlaku juga
bagi orangorang Cina, Arab, India dan orang-orang lainnya yang beragama Kristen
disamakan dengan orang Eropa. Sedangkan bagi orang-orang yang tidak beragama
Kristen selain orang Indonesia dipersamakan kedudukannya dengan orang
bumiputra.
Tetapi karena
pasal 10 AB memberikan wewenang kepada GubernurJenderal untuk menetapkan
peraturan pengecualian bagi orang Indonesia Kristen, maka melalui S. 1848: 10,
pasal 3 nya Gubernur Jenderal menetapkan bahwa “orang Indonesia Kristen dalam
lapangan hukum sipil dan hukurn dagang juga mengenai perundang-undangan pidana
dan peradilan pada umumnya tetap dalam kedudukan hukumnya yang lama”. Dengan
demikian berarti bahwa bagi orang Indonesia Kristen tetap termasuk golongan
orang bumiputra dan tidak dipersamakan dengan orang Eropa.
Masa Regering
Reglement (R.R.)
Politik hukum
pemerintah jajahan yang mengatur tentang pelaksanaan tata hukum pemerintah di
Hindia Belanda itu dicantumkan dalam pasal 75 RR yang pada asasnya seperti
tertera dalam pasal 11 AB. Sedangkan pembagian penghuninya tetap dalam dua
golongan, hanya saja tidak berdasarkan perbedaan agama lagi melainkan atas
kedudukan “yang menjajah” dan “yang dijajah” Dan ketentuan terhadap pembagian
golongan ini dicantumkan dalam pasal 109 Regerings Reglement. Adapun
yang diatur dalam kedua pasal tersebut
adalah (dibawah
ini bukan merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal
tersebut):
Pasal 109 RR
“Pada pokoknya
sama dengan Pasal 5 AB tetapi orang Pribumi yang beragama Kristen tetap
dianggap orang pribumi dan bagi orang Tionghoa, Arab serta India dipersamakan
dengan Bumi Putera”.
Pasal 75 RR
“Menyatakan
tetap memberlakukan hukum eropa bagi orang eropa dan hukum adat bagi golongan
lainnya”.
Pada tahun 1920
RR itu mengalami perubahan terhadap beberapa pasal tertentu dan kemudian
setelah diubah dikenal dengar sebutan RR (baru) dan berlaku sejak tanggal 1
Januari 1920 sampai 1926. Karena itu selama berlakunya dari tahun 1855 sampai
1926 dinamakan Masa Regerings Reglement. Sedangkan politik hukum dalam
pasal 75 RR (baru) mengalami perubahan asas terhadap penentuan penghuni menjadi
“pendatang” dan “yang didatangi”. Sedangkan penggolongannya dibagi menjadi tiga
golongan, yaitu golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing.
Masa Indische
Staatsregeling (I.S.)
Berlakunya IS
dengan sendirinya telah menghapus berlakunya RR. Politik Hukum Pemerintahan
hindia belanda pasa saat berlakunya IS dapat dilihat dalam Pasal 163 IS dan 131
IS. pada Pasal 163 IS mengatur pembagian golongan, yang pada intinya seluruh
isinya dikutip dari Pasal 109 RR (baru).
Sedangakan
Pasal 131 IS mengatur hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan tersebut.
Adapun yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah (dibawah ini bukan
merupakan bunyi pasal melainkan kesimpulan dari bunyi pasal tersebut):
Pasal 163 IS
Penduduk Hindia
Belanda dibedakan atas tiga golongan, yakni :
1. Golongan
Eropa
2. Golongan
Bumi Putera
3. Golongan
Timur Asing.
Pasal 131 IS
meyatakan beberapa hal yakni :
1. Menghendaki
supaya hukum itu ditulis tetap di dalam ordonansi.
2.
Memberlakukan hukum belanda bagi warga negara belanda yang tinggal di hindia
belanda berdasarkan asas konkordansi.
3. Membuka
kemungkinan untuk unifikasi hukum yakni menghendaki penundukan bagi golongan
bumiputra dan timur asing untuk tunduk kepada hukum Eropa.
4.
Memberlakukan dan menghormati hukum adat bagi golongan bumi putera apabila
masyarakat menghendaki demikian.
Pembagian
golongan penghuni berdasarkan Pasal 163 IS sebenarnya untuk menentukan
sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 131 IS.
Diatas telah
dijelaskan politik hukum pada masa penjajahan belanda, dibawah ini akan
dijelasakan politik hukum Indonesia setelah merdeka. Pada tanggal 17 Agustus
1945 Indonesia merdeka, setelah Indonesia merdeka bagaimanakah politik Hukum
Indonesia. Untuk mengetahui keberadaan politik hukum di Indonesia dapat
dianalisa berdasarkan berlakunya Undang-Undang Dasar di Indonesia.
Setelah
Indonesia merdekan sebagai bangsa yang lepas dari penjajahan, maka sebagai
dasar negara dibentuklah UUD 1945 yang mengatur kehidupan bernegara dan
berbangsa Indonesia. Undang-Undang Dasar yang diberlakukan sampai sekarang ini
adalah Undang-Undang Dasar 1945 menurut Dekrit Presiden. Pada umumnya suatu
negara mencantumkan politik hukum negaranya di dalam Undang-Undang Dasar,
tetapi ada juga negara yang
mencantumkan
politik hukumnya di luar Undang-Undang Dasar. Bagi Negara yang tidak
mencantumkan politik hukumnya di Undang-Undang Dasar biasanya mencantumkan di
dalam suatu bentuk ketentuan lain.
UUD 1945 yang
berbatang tubuh 37 pasal tidak mencantumkan tentang politik hukum negara. Hal
ini berbeda dengan UUDS 1950 yang mencantumkan politik hukumnya di dalam Pasal
102, yang berbunyi:
“Hukum perdata
dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun militer, hukum acara perdata maupun
hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan diatur dalam undang-undang
dalam kitab hukum. Kecuali jika pengundang-undang menggap perlu untuk mengatur
beberapa hal dalm undang-undang sendiri”.
Berdasarkan
Pasal 102 UUDS 1950 arah politik hukum yang dikehendaki membentuk suatu hukum
tertulis yang dikodifikasi. Tetapi sebagaimana diketahui dasar negara yang
digunakan adalah UUD 1945, maka politik hukum sebagai mana tercantum di dalam
Pasal 102 tersebut tidaklah berlaku.
Oleh karena UUD
1945 tidak mengatur politik hukum maka didalam pelasanaan hukum berlandasakan
kepada Pasal II aturan peralihan UUD 1945. Di dalam Pasal II aturan peralihan
UUD 1945 diatur bahwa “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undag Dasar
ini”. Ketentuan Pasal II aturan peralihan ini bukan merupakan politik Hukum
hanya suatu ketentuan yang memiliki fungsi untuk mengisi kekosongan hukum.
Fungsinya sama dengan pasal 142 UUDS 1950 dan Pasal 192 UUD RIS yang menyatakan
tetap berlakunya peraturan perundangan hukum dan tata usaha yang telah berlaku sebelum
berlakunya UUD saat itu.
Dengan adanya
Pasal II Aturan Peralihan kekosongan hukum dapat diatasi, yang berarti bahwa
aturan-aturan hukum yang berlaku pada jaman penjajahan Belanda tetap berlaku
selama belum adanya hukum yang baru. Berlakunya Pasal II aturan peralihan ini
disebut dengan asas konkordansi.
Tetapi, walaupun
masih ada peraturan hukum Belanda yang berlaku setelah menjadi negara merdeka
dewasa ini sebenarnya tidak bertujuan seperti penjajah Belanda pada zamannya,
melainkan hanya sebagai alasan “jangan sampai terjadi kekosongan hukum” saja,
sebab kekosongan hukum berarti tidak adanya suatu pegangan dalam tata tertib
hidup. Hal ini akan sangat berbahaya dibanding melanjutkan berlakunya aturan
hukum Belanda walaupun sudah banyak yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
dalam pergaulan hukum di Indonesia.
Karena itu
pemerintah terus berusaha mewujudkan hukum nasional sebagai penggantinya yang
dinyatakan secara berencana melalui politik hukumnya dalam haluan negara. Suatu
perumusan politik hukum yang dinyatakan secara tegas dan bertahap dicantumkan
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
0 komentar:
Posting Komentar