Manusia adalah pengertian biologis ialah
gejala dalam alam, gejala biologikal
yaitu makhluk hidup yang mempunyai pancaindera dan mempunyai budaya. Sedangkan orang adalah pengertian juridis ialah gejala dalam hidup
bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang atau persoon.
Di Indonesia
menurut hukum yang berlaku sekarang, setiap manusia diakui sebagai manusia pribadi. Artinya manusia diakui
sebagai orang atau persoon. Karena itu setiap manusia
diakui sebagai subyek hukum (recchtspersoonlijkheid)
yaitu pendukung hak dan kewajiban.
Hak dan
kewajiban perdata tidak tergantung pada agama, golongan, kelamin, umur,
warganegara ataupun orang asing. Demikian pula hak dan kewajiban perdata tidak
tergantung pula kepada kaya atau miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam
masyarakat, penguasa (pejabat) ataupun rakyat biasa, semuanya sama. Manusia
sebagai pendukung hak dan kewajiban mulai lahir dan baru berakhir apabila mati
atau meninggal dunia. Pengecualian mulainya pendukung hak dan kewajiban dalam BW disebut pada pasal 2 menentukan
sebagai berikut :
1)
“Anak yang ada dalam kandungan
seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan
si anak menghendakinya”.
2)
“Mati sewaktu dilahirkan,
dianggaplah ia tak pernah telah ada”.
Ketentuan yang termuat dalam pasal 2 BW ini
sangat penting, misalnya dalam hal warisan, dan ketentuan ini sering disebut “rechtsfictie”
Pentingnya pasal 2 BW terlihat
pada contoh kasus sebagai berikut : Seorang ayah pada tanggal 1 Agustus 1984
meninggal dunia. Pada saat meninggal dunia ia mempunyai 2 orang anak, sedangkan
isterinya dalam keadaan hamil (mengandung). Seandainya pasal 2 BW tidak ada,
maka yang menjadi ahli waris (kalau ayah yang meninggal dunia itu tidak
meninggalkan wasiat) hanyalah dua orang anaknya dan jandanya (isterinya). Pada
tanggal 1 September 1984 anak dalam kandungan isteri itu lahir hidup dan segar
bugar. Kalau pasal 2 BW itu tidak ada, maka boedel warisan yang ditinggalkan
ayahnya hanya dibagi antara saudara-saudaranya dan ibunya, yang masing-masing
mendapat sepertiga, sedangkan ia yang masih dalam kandungan ketika ayahnya
meninggal dunia tidak mendapat apa-apa keadaan ini dirasa tidak adil.
Pasal 2 BW tersebut diadakan
untuk meniadakan ketidak adilan itu, sehingga anak yang ada dalam kandungan pun
merupakan ahli waris. Karena itu bagian dari masing-masing ahli waris pada
contoh diatas ini adalah seperempat (tiga anak dan seorang isteri/janda).
Pembagian ini juga berlaku seandainya anak itu hanya hidup sedetik. Adapun
bagiannya menjadi warisan. Jadi anak yang hidup sedetik dan kemudian meninggal
itu menjadi pewaris. Sedang yang menjadi ahli warisnya adalah
saudara-saudaranya dan ibunya.
Dengan adanya pasal 2 BW, maka
seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya sudah dianggap seolah-olah sudah
dilahirkan, manakala anggapan ini menjadi
keuntungan si anak. Tapi kalau anak dalam kandungan itu kemudian
dilahirkan mati, maka ia dianggap sebagai tak pernah telah ada. Artinya kalau
anak (bayi) itu lahir hidup, meskipun hanya sedetik dan ini dapat ditentukan
maka ia ketika dalam kandungan dianggap sudah hidup, sehingga dalam
kandungannya ia sudah merupakan orang yakni pendukung
hak.
Dalam hukum perdata dikatakan
bahwa berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban adalah apabila
ia meninggal dunia. Artinya selama seseorang masih hidup selama itu pula ia
mempunyai kewenangan berhak. Dalam pasal 3 BW dinyatakan : “Tiada suatu
hukumanpun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak perdata”.
Tetapi ada beberapa faktor
yang mempengaruhi kewenangan
berhak seseorang yang sifatnya membatasi kewenangan tersebut anatara lain :
1)
Kewarganegaraan : misalnya dalam pasal 21 ayat (1) UUPA disebutkan
bahwa warga negara Indonesia
yang dapat mempunyai hak milik.
2)
Tempat tinggal : misalnya dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 24
tahun 1960 dan pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1964 (tambahan pasal
3a s/d 3e) jo. pasal 10 ayat (2) UUPA
disebutkan larangan pemilikan tanah, pertanian oleh orang yang bertempat tinggal diluar kecamatan
tempat letak tanahnya.
3)
Kedudukan atau jabatan : misalnya hakim dan pejabat hukum lainnya
tidak boleh memperoleh barang-barang yang masih dalam perkara.
4)
Tingkah laku atau perbuatan : misalnya dalam pasal 49 dan 53 UU No.
1 tahun 1974 disebutkan bahwa kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut dengan
keputusan pengadilan dalam hal ini ia sangat melalaikan kewajibannya sebagai
orang tua/ wali atau berkelakuan buruk sekali.
0 komentar:
Posting Komentar