Hukum Perjanjian pada
dasarnya mencakup hukum hutang piutang. Dengan adanya perjanjian, maka suatu
fihak berhak untuk menuntut prestasi dan alin fihak berkewajiban untuk memenuhi
prestasi. Prestasi tersebut adalah mungkin menyerahkan benda, atau melakukan
suatu perbuatan, atau tidak melakukan suatu perbuatan.
Bentuk-bentuk darim
perjanjian dalam masyarakt hukum adat adalah :
1. Perjanjian kredit
Perjanjian kredit
merupakan suatu perjanjian meminjamkan uang dengan atau tanpa bunga, atau
barang-barang tertentu yang harus dikembalikan sesuai dengan nilainya
masing-masing pada saat yang telah disepakati. Hasil penelitian lapangan di
Lampung dan Sumatera Selatan menyatakan bahwa peminjaman yang dikenakan bunga
telah lazim terjadi, apabila yang meminjam uang itu adalah orang luar, artinya
yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan fihak yang meminjamkan uang
itu. Adanya bunga atau jaminan terhadap pinjaman uang, rupa-rupanya merupakan pengaruh
dari kebiasaan-kebiasaan di kota dari para pendatang. Demikian pila dengan
pinjam-meminjam barang, maka pinjam-meminjam tersebut merupakan suatu hal yang
sudah lazim. Pinjam-meminjam barang ini harus dikembalikan dengan barang
sejenis ataupun dengan uang yang sepadan dengan nilai barang yang dipinjamkan.
2. Perjanjian kempitan
Perjanjian kempitan
merupakan suatu bentuk perjanjian dimana sesorang menitipkan sejumlah barang
kepada fihak lain dengan janji bahwa kelak akan dikembalikan dalam bentuk uang
atau barang yang sejenis. Perjanjian kempitan ini lazim terjadi dan pada
umumnya menyangkut hasil bumi dan barang-barang dagangan. Didalam perjanjian
kempitan, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu antara lain :
a. Harus ada musyawarah
lebih dahulu, kepercayaan dan surat perjanjian.
b. Diadakan batas waktu
pengembalian barang, dan kalu barang tersebut tidak diambil, maka barang itu
dijual atas dasar mufakat.
c. Dalam surat perjanian
itu ditentukan jumlah harga pengembalian barang tersebut
d. Apabila barang yang
dititipkan itu hilang, maka hrus ada penggantian dan apabila barang itu telah
dijual orang yang dititipi barang tersebut harus diberi upah untuk jerih
payahnya. Dengan demikian, dalam perjanjuan kempitan terdapat kecenderungan
bahwa barang yang dititipkan itu harus dikembalikan apabila dikehendaki oleh pemilik
barang dan adanya suatu syarat utama yaitu bahwa antara para fihak harus saling
percaya-mempercayai.
3. Perjanjian tebasan
Perjanjian tebasan
terjadi apabila seseorang menjual hasil tanamannya sesudah tanaman itu berbuah
dan sebentar lagi kan dipetik hasilnya. Perjanjian tebasan ini lazim terjadi
pada padi atau tanaman buah-buahan yang sudah tua dan sedang berada di sawah
ataupun di kebun. Di daerah-daerah tertentu (misalnya beberapa daerah Sumatera
Selatan) perjanjiantebasan merupakan perjanjian yang tidak lazim terjadi dan
ada kecenderungan bahwa perikatan dalam bentuk ini merupakan perjanjian yang
dilarang.
4. Perjanjian perburuhan
Biasakan seseorang
memperkerjakan orang lain yang bukan keluarga tanpa diberi upah berupa uang?
Perihal bekerja sebagai buruh dengan mendapat upah merupakan suatu hal yang
sudah lazim dimana-mana. Dengan demikian terdapat kecenderungan bahwa apabila
memperkerjakan orang lain harus diberi upah dan upah tersebut haruslah berupa
uang.Tetapi ada variasi lain, yaitu bahwa ada kemungkinan seseorang bekerja
tanpa diberi upah berupa uang, akan tetapi segala biaya kehidupannya ditanggung
sepenuhnya. Ter Haar menyatakan bahwa tentang menumpang di rumah orang lain dan
mendapat makan dengan Cuma-Cuma tapi harus bekerja untuk tuan rumah, merupakan
hal yang berulang-ulang dapat diketemukan dan sering bercampur baur dengan
memberikan penumpangan kepada kepada sanak-saudara yang miskin dengan imbangan
tenaga bantuannya di rumah dan di lading.
5. Perjanjian pemegangkan
Apakan lazim bahwa seseorang
menyerahkan suatu benda kepada orang lain sebagai jaminan atas hutangnya ? Di
beberapa masyarakat, pada umumnya perjanjian pemegangkan ini cukup lazim
dilakukan dan pemilik uang berhak mempergunakan benda yang dijaminkan itu
sampai uang yang dipinjamkan itu sampai uang yang dipinjamkan itu dikembalikan.
Akan tetapi, apabila pinjaman uang tersebut dikenakan bunga, maka pemilik uang
itu hanya berkewajiban menyimpan barang tersebut dan tidak berhak untuk
memprgunakannya, karena dia menerima bungan hutang tersebut.
6. Perjanjian
pemeliharaan
Perjanjian pemeliharaan
mempunyai kedudukan yang istimewa dalam hukum harta kekayaan adat. Isi
perjanjian pemeliharaan ini adalah bahwa fihak yang satu – pemelihara menanggung
nafkahnya fihak lain – terpelihara – lebih-lebih selama masa tuanya, pula
menanggung pemakamannya dan pengurusan harta peninggalannya. Sedangkan sebagai
imbalan si pemelihara mendapat sebagian dari harta peninggalan si terpelihara,
dimana kdang-kadang bagian itu sama dengan bagian seorang anak. Perjanjian ini
pada umumnya dikenal antara lain di Minahasa dan persamannya terdapat di Bali
dimana seseorang menyerahkan dirinya bersama segala harta bendanya kepada orang
lain. Orang yang menerima penyerahan sedemikian itu wajib menyelenggarakan
pemakamannya dan pembakaran mayatnya si penyerah, pula wajib memelihara sanak
saudaranya yang ditinggalkan; untuk itu semua maka ia berhak atas harta
peninggalannya.
7. Perjanjian
pertanggungan kerabat
Apakah lazim seseorang
menanggung hutang orang lain yang tidak sanggup melunasi hutang tersebut ? Ter
Haar pernah menulis bahwa dalam hukum adat terdapat perjanjian dimana seseorang
menjadi penanggung hutangnya orang lain. Si penanggung dapat ditagih bila
dianggap bahwa perlunasan piutang tak mungkin lagi diperoleh dari si peminjam
sendiri. Menanggung hutang orang lain, pertama-tama mungkin disebabkan karena
adanya ikatan sekerabat, berhadapan dengan orang luar. Kedua mungkin juga
berdasarkan atas rasa kesatuan daripada sanak saudara. Misalnya dikalangan
orang-orang Batak Karo, seorang laki-laki selalu bertindak bersama-sama atau
dengan penanggunagan anak beru sinina, yaitu sanak saudaranya semenda dan
kerabatnya sedarah yang seakan-akan mewakili golongan-golongan mereka berdua
yang bertanggung jawab. Penelitian di beberapa masyarakat menyatakan kebenaran
dari perkiraan yang diajukan oleh ter Haar di atas. Di Sumatera Selatan
perjanjian pertanggungan kerabat orang lain juga masih lazim dilakukan.
Alasan-alasannya antara lain :
a. Menyangku kehormatan
suku
b. Menyangkut kehormatan
keluarga batih
c. Menyangkut kehormatan
keluarga luas.
8. Perjanjian serikat
Acapkali ada
kepentingan-kepentingan tertentu yang dipelihara oleh anggota masyarakat dalam
berbagai macam kerja sama. Kerja sama dari para anggota masyarakat untuk memenuhi
kepentingan itulah yang menimbulkan serikat, yang didalamnya muncul perikatan
atau perjanjian-perjanjian untuk memenuhi kepentingan tertentu tadi. Sebagai
contoh adalah dimana beberapa orang yang setiap bulan membayar sejumlah uang
tertentu dalam waktu yang telah ditetapkan bersama, misalnya, dalam setiap
bulan. Masing-masing mereka secara bergiliran akan menerima keseluruhan jumlah
uang yang telah dibayarkan itu dan dapat mempergunakan uang tersebut sekaligus
dan juga seluruhnya. Kegiatan yang demikian ini di Jakarta disebut dengan
serikat, di Minangkabau disebut dengan jula-jula, di Salayar disebut dengan
mahaqha dan di Minahasa
disebut mapalus. Tetapi
perlu diingatkan bahwa mapalus di Minahasa mengandung arti rangkap. Pertama-
sebagai bentuk kerjasama yang pada prinsipnya mengandung kegiatan tolong
menolong secara timbale balik, sehingga dapat digolongkan dalam bentuk
perikatan tolong menolong yang merupakan “wederkeng hulpbetoon”. Kedua adalah
bentuk kerja sama dalam kegiatan yang telah diuraikan di muka. Bentuk kerja
sama tersebut, kini telah mengalami perkembangan dan tidak semata-mata
menyangkut uang saja, akan tetapi juga berkaitan dengan pelbagai keperluan,
seperti keperluan rumah tangga, dan lain sebagainya. Kegiatan tersebut juga
sudah meluas dalam
masyarakat, dan lazim
disebut arisan.
9. Perjanjian bagi hasil
Menurut ter Haar, maka
transaksi ini merupakan suatu perikatan, dimana obyek transaksi bukanlah tanah,
akan tetapi pengolahan tanah dan tanaman di atas tanah tersebut. Proses
tersebut mungkin terjadi, oleh karena pemilik tanah tidak mempunyai kesempatan
untuk mengerjakan tanahnya sendiri, akan tetapi berkeinginan untuk menikmati
hasil tanah tersebut. Maka, dia dapat mengadakan perjanjiandengan fihak-fihak
tertentu yang mampu mengerjakan tanah tersebut, sengan mendapatkan sebagain
dari hasilnya sebagai upah atas jerih payahnya. Transaksi semacam ini dapat
dijumpai hamper di seluruh Indonesi, dengan pelbagai variasi, baik dari sudut
penanamannya, pembagian hasilnya, dan seterusnya. Di daerah Sumatera Barat
(Minangkabau), transaksi ini dikenal dengan nama “mampaduoi” atau “babuek sawah
urang”. Perjanjian bagi hasil tersebut didalam kenyataannya dilakukan secara
lisan (dihadapan kepala adat), dan tergantung dari factor kesuburan tanah,
penyediaan bibit, jenis tanaman dan seterusnya. Apabila tanah yang akan
dikerjakan akan dijadikan sawah, sedangkan benih padi disediakan oleh pemilik
tanah, maka hasilnya dibagi dua antara pemilik tanah dengan penggarap, tanpa
memperhitungkan nilai benih serta pupuknya. Perjanjian semacam ini disebut
“mempaduoi”. Lain halnya, apabila tanah keras, ldang atau sawah yang akan
dikerjakan, ditanami dengan palawija, dimana pemilik tanah menyediakan bibit
serta pupuk. Hasilnya tetap dibagi dua, akan tetapi dengan memperhitungkan
harga bibit dan pupuk; perjanjian semacam ini disebut “saduo bijo”. Perjanjian
tersebut dapat diteruskan (atau dihentikan) oleh ahli waris, apabila pemilik
tanah penggarapn meninggal. Di Jawa Tengah, maka perjanjian tersebut tergantung
pada kualitas tanah,
macam tanaman yang akan
dikerjakan, serta penawaran buruh tani. Kalau kualitas tanah baik, misalnya,
maka pemilik tanah akan memperoleh bagian yang lebih besar. Dengan demikian,
maka ketentuan-ketentuannya adalah, sebagai berikut :
a. Pemilik tanah dan
penggarapnya memperoleh bagian yang sama (“maro”)
b. Pemilik tanah
memperoleh 2/3 bagian (“mertebu”)
c. Pemilik tanah
mendapat 1/5 bagian untuk tanaman kacang.
Khususnya di Bali
Selatan, perjanjian bagi hasil penerapannya disebut “sakap menyakap” (Koentjaraningrat
1967:60). Ketentuan-ketentuannya adalah,
sebagai berikut :
a. Pemilik tanah dan
penggarapnya memperoleh bagian yang sama, yaitu masing-masing ½ (”nandu”).
b. Pemilik tanah
mendapat 3/5 bagian dan penggarap 2/5 bagian (“nelon”)
c. Pemilik tanah
mendapat 2/3 bagian dan penggarap 1/3 bagian (“ngapit”).
d. Pemilik tanah
mendapat ¾ bagian, sedangkan penggarap ¼ bagian (“merapat”)
Mengenai perjanjian bagi
hasil atau “sharecropping” ini, sebetulnya telah diatur didalam Undang_Undang
Nomor 2 tahun 1960, yang intinya adalah :
a. Penentuan bagian yang
didasarkan pada kepentingan penggarap dan kualitas tanah, dengan ketentuan
penggarap memperoleh ½ bagian atau 2/3 bagian.
b. Atas dasar kualitas
dan tipe tanah, perjanjian bagi hasil berjangka waktu antara 3 sampai 5 tahun.
c. Kepala Desa mengawasi
perjanjian-perjanjian bagi hasil.
10. Perjanjian ternak
Ter Haar menyatakan “
Pemilik ternak menyerahkan ternaknya kepada fihak lain untuk dipelihara dan
membagi hasil ternak atau peningkatan nilai dari hewan itu” .Di Sumatera Barat (Minangkabau)
dikenal dengan nama “paduon taranak” atau “saduoan taranak”. Mengenai hal ini,
lazimnya berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Jika ternak itu
ternak betina, maka setelah beranak, anaknya itu dibagi sama banyaknya antara
si pemilik dan si pemelihara, atau dipatut harga induknya, kemudian anaknya
dibagi dua sama banyak, dan kelebihan harga induknya yang dipatut itu dibagi
dua pula. Kelebihan harga induk adalah dari harga waktu penyerahan dan waktu
akan membagi.
2. Jika ternak itu
ternak jantan, maka sewaktu diserahkan pada pemelihara harus ditentukan
harganya, kemudian setelah dijual laba dibagi dua.Kalau dijual sebelum beranak
maka ketentuannya adalah :
- Jika induknya dahulu
dipatut harganya, maka laba dibagi dua
- Jika induknya dahulu
tidak dipatut harganya, maka kepada pemelihara diberikan sekedar uang jasa
selama ia memelihara ternak tersebut, besarnya tergantung kepada pemilik
ternak, sifatnya hanya social saja.
- Kalau ternak iitu
mandul, maka dijual, biasanya dikeluarkan juga uang
rumput pemeliharaan, dan
pemelihara mempunyai hak terdahulu jika ia ingin membeli atau memeliharanya
kembali.
- Jika ternak itu mati
ditangan si pemelihara..., biasanya kedua fihak pasrah kepada kedua tkdir
tersebut. Di Daerah Lampung, maka lzimnya berlaku ketentuan-ketentuan, sebagai
berikut (Soerjono Soekanto 1975 : 46) :
a. Pada ternak besar,
hasilnya dibagi sama rata
b. Kalau pokoknya mati,
maka harus diganti dengan hasil pertama
c. Pad unggas, maka bagi
hasil tergantung pada musyawarah antara para fihak
Didalam keputusannya
tertanggal 23 Oktober 1954 nomor 10/1953, pengadilan negeri Tapanuli Selatan
menetapkan bahwa menurut hukum adat di Tanah Batak, tentang pemelihraan kerbau,
adalah sebagai berikut :
a. Kalau seekor kerbau
mati dalam pemeliharaan, yaitu kelihatan bangkainya, tidak diganti oleh
pemelihara.
b. Kalau kebau itu mati
karena tidak dipelihara atau liar ataupun hilang, yang memeliharanya harus
menggantikannya sebesar kerbau yang mati, liar atau hilang itu, atau membayar
seharga kerbau yang mati, liar atau hilang itu. In casu seekor kerbau yang mati
karena masuk lubang di padangan, dianggap mati dalam pemeliharaan. Didalam
kasasi, maka Mahkamah Agung memutuskan, bahwa bila ada kerbau yang hilang atau
mati karena masuk lubang, maka sangat sulit untuk menentukankesalahan dari
fihak pemelihara. Dengan demikian, maka sepatutnya resiko ditanggung oleh kedua
belah fihak, secara sebanding (Keputusan Mahkamah Agung tertanggal 2 April
1958, nomor 348 K/Sip/1957).
0 komentar:
Posting Komentar