Bagaimana kedudukan BW (Bulgerlijk Wetboek)
pada waktu sekarang ? Apakah BW tersebut masih bisa dianggap berlaku sebagai
sebuah kitab undang-undang (kodifikasi)
di negara Republik Indonesia
yang sudah merdeka ini ? Persoalan di atas ini pertama kali dilontarkan oleh
Mentri Kehakiman RI tahun 1962 pada salah satu Rapat Kerja
Badan Perancang Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) bulan Mei 1962. Menteri Kehakiman, Sahardjo, SH, pada pertemuan itu
melontarkan suatu problema hukum: “Apakah BW sebagai kodifikasi tidak telah
habis masa berlakunya pada saat kita memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal
17 Agustus 1945?” Sahardjo, SH, berpendapat bahwa BW tidak lagi sebagai suatu
undang-undang melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu
kelompok hukum tidak tertulis. Dengan kata lain BW bukan lagi sebagai Wetboek
tetapi rechtsboek yang hanya dipakai sebagai pedoman.
Menanggapi
persoalan yang dikemukakan Mentri Kehakiman Sahardjo, SH tersebut, Prof.
Mahadi, SH berpendapat sebagai berikut dibawah ini :
1.
BW sebagai kodifikasi sudfah tidak
berlaku lagi.
2.
Yang masih berlaku ialah
aturan-aturannya, yang tidak bertentangan dengan semangat serta suasana
kemerdekaan.
3.
Diserahkan pada yurisprudensi dan
doktrin untuk dan aturan mana yang tidak bisa dipakai lagi.
4.
Tidak setuju diambil suatu
tindakan legislative untuk menyatakan bahwa aturan-aturan BW dicabut sebagai
aturan-aturan tertulis. Tegasnya, tidak setuju,untuk menjadikan aturan-aturan
BW yang masih bisa berlaku menjadi hukum kebiasaan (hukum adat), Sebab :
a.
Kelompok-kelompok hukum, sekarang
diatur dalam BW, akan menjelma nanti di dalam hukum nasional kita dalam bentuk
tertulis. Setapak kearah itu telah kita lakukan, yaitu sebagian dari buku II telah diatur secara lain di dalam Undang-undang
Pokok Agraria.
Hukum Perjanjian (Buku III) sedang dalam
perencanaan. Hukum Acara Perdata, yang melingkupi sebagian
dari Buku IV sedang dirancang, dan sebagainya. Jadi, tidak logis, kalau yang
tertulis sekarang itu dijadikan tidak tertulis, untuk kemudian dijadikan
tertulis kembali (meskipun dengan perubahan-perubahan).
b.
Dengan berlakunya aturan-aturan BW sebagai hukum adat, tidak
hilang segi diskriminatifnya. Mungkin hilang segi intergentilnya, tetapi masih
tetap ada segi interlokalnya.
a.
Dengan memperlakukan BW sebagai hukum
adat, tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan peraturan-peraturan tentang Burgerlijke Stand sebagai aturan-aturan
tertulis. Peraturan-peraturan tentang Burgerlijke
Stand nyata-nyata bersifat diskriminatif, sebab pada umumnya tidak ada Burgerlijke Stand untuk sebagian besar
dari warga negara Indonesia .
b.
Kedudukan BW rasanya harus kita
tilik bergandengan dengan kedudukan KHUDagang. Dapatkah kita membuat pernyataan
bahwa aturan-aturannya berlaku sebagai hukum adat ? Apakah tidak ada segi-segi
Internasionalnya ? (Bandingkan wessel misalnya).
c.
Menjadikan aturan-aturan BW
sebagai hukum adat mempunyai akibat psikologis terhadap alam fikiran para hakim
madya yaitu para hakim muda lepasan SMKA dan para hakim bekas-bekas pegawai
administrasi yang tidak sedikit jumlahnya. Sekarang mempunyai peganggan bernama
norma hukum tertulis dan kedua yurisprudensi. Jika aturan-aturan BW dijadikan
hukum adat, maka hanya tinggal satu pegangan ini, kata Mahadi, tidak membawa
akibat baik kepada mutu putusan-putusan hakim-hakim yang bersangkutan.
Prof. Mahadi
akhirnya mengusulkan agar persoalan ini diserahkan kepada Mahkamah Agung, yurisprudensinya serta melalui
jalan lain di dalam rangka peradilan terpimpin, dibantu oleh para pengarang di
dalam majalah hukum, untuk menjelaskan aturan-aturan mana dari BW itu yang
dapat dipandang sebagai tidak berlaku lagi.
Kemudian
gagasan Sahardjo yang menganggap BW bukan lagi sebagai Wetboek tetapi rechtsboek ini dibawa ke dalam Kongres Majelis Ilmu
Pengetahuan Indonesia (MIPI
- sekarang LIPI) II yang diadakan di Yogyakarta
pada bulan Oktober 1962, yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro,
SH dalam prasarannya yang berjudul “Keadaan Transisi Dari Hukum Perdata Barat”.
Dalam prasarannya
itu dikemukakan beberapa pemikiran sebagai berikut :
1.
Mengingat kenyataan bahwa BW oleh
penjajah Belanda dengan sengaja disusun sebagai tiruan belaka dari BW di Negeri
Belanda dan lagi untuk pertama-tama diperlakukan buat orang-orang Belanda di Indonesia, yang sudah merdeka lepas
dari belenggu penjajahan Belanda itu, masih pada tempatnyakah untuk memandang
BW tersebut sejajar dengan suatu undang-undang yang secara resmi berlaku di
Indonesia ?
Dengan kata lain, apakah BW yang
bersifat kolonial itu masih pantas secara resmi dicabut dulu untuk menghentikan
berlakunya di Indonesia
sebagai undang-undang ?
1.
Gagasan Menteri Kehakiman Sahardjo, SH dalam sidang Badan Perancang Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional pada bulan Mei 1962 yang menganggap BW tidak lagi
sebagai suatu undang-undang melainkan sebagai suatu dokumen yang menggambarkan
suatu kelompok hukum tidak tertulis, sangat menarik hati, oleh karena dengan
demikian para penguasa terutama para hakim lebih leluasa untuk mengesampingkan
beberapa pasal BW yang tidak sesuai dengan zaman kemerdekaaan Indonesia.
2.
Namun oleh karena dalam gagasan
tersebut BW masih tetap sebagai pedoman yang harus diperhatikan seperlunya oleh
para penguasa, maka untuk kepastian hukum masih sangat perlu diusahakan sekuat tenaga, agar dalam waktu yang tidak
lama, BW sebagai pedoman harus dihilangkan sama sekali dari bumi Indonesia
secara tegas, yaitu dengan suatu pencabutan, tidak dengan undang-undang
melainkan dengan suatu pernyataan dari Pemerintah atau dari Mahkamah Agung.
Ternyata
gagasan tentang kedudukan hukum BW yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro dalam
Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia ini mendapat sambutan dan
persetujuan bulat dari para peserta kongres. Kemudian terdengar banyak sekali
dari para sarjana hukum di Indonesia
yang menyetujui juga gagasan tersebut. Dan ternyata Mahkamah Agung juga
menyetujui dan sebagai konsekuensinya Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan
Surat Edaran No. 3/1963 tanggal 5 September 1963 yang disebarluaskan kepada
semua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negri di seluruh Indonesia.
Dan sebagai
konsekuensinya Mahkamah Agung menganggap tidak berlaku lagi pasal-pasal dalam Bulgerlijk Wetboek antara lain: Pasal,
108; 110; 284 ayat (3); 1682; 1579; 1238; 1460; 1603 x ayat (1) dan ayat (2)
BW.
0 komentar:
Posting Komentar