Pada masa abad pertengahan atau biasa disebut
sebagai the Dark Age (masa kegelapan), hukum alam mengalami kemajuan kembali
melalui transformasi di bawah gereja. Peran keagamaan mendominasi sektor-sektor sekuler. Sistim kemasyarakatan di Eropa pada waktu itu
terdiri dari beberapa negara yang berdaulat yang bersifat feodal dan Tahta Suci.
Pada masa itu muncullah konsep perang adil sesuai dengan ajaran kristen, yang bertujuan
untuk melakukan tindakan yang tidak bertentangan dengan ajaran gereja. Selain itu, beberapa hasil karya ahli hukum memuat mengenai persoalan
peperangan, seperti Bartolo yang menulis tentang tindakan balas yang
seimbang (reprisal), Honore de Bonet menghasilkan karya The Tree of
Battles tahun 1380. (Tontowi,
Jawahir dan Pranoto Iskandar; op. cit: 34).
Meskipun pada abad pertengahan hukum internasional
tidak mengalami perkembangan yang berarti,
sebagai akibat besarnya pengaruh ajaran gereja, tetapi negara-negara
yang berada di luar jangkuan gereja seperti di Inggris, Perancis, Venesia, Swedia,
Portugal, benih-benih perkembangan hukum internasional mulai bermunculan. Traktat-traktat yang dibuat oleh negara lebih bersifat mengatur peperangan,
perdamaian, gencatan senjata dan persekutuan-persekutuan.
Melemahnya kekuasaan gereja yang ditandai dengan
upaya sekulerisasi, seperti yang dilakukan oleh Martin Luther sebagai tokoh
reformis gereja, dan seiring dengan mulai terbentuknya
negara-negara moderen. Misalnya, Jean
Bodin dalam Buku Six Livers De la Republique 1576, mengemukakan bahwa kedaulatan atau kekuasaan bagi pembentukan
hukum merupakan hak mutlak bagi
lahirnya entitas suatu negara.
Pada akhir abad pertengahan ini, hukum
internasional digunakan dalam isu-isu politik, pertahanan dan militer. Hukum
mengenai pengambilalihan wilayah
berkaitan dengan eksplorasi Eropa terhadap benua Afrika dan Amerika. Beberapa ahli hukum seperti, Fransisco
De Vittoria yang memberikan kuliah
di Universitas Salamanca Spanyol bertujuan untuk justifikasi praktek penaklukan
Spanyol. Ia menulis buku Relectio de Indies, yang menjelaskan hubungan
bangsa Spantol dan Portugis dengan bangsa Indian di benua Amerika, Di dalam buku itu juga dikemukakan bahwa
negara tidak dapat bertindak sekehendak hatinya, dan ius inter gentes
(hukum bangsa-bangsa) diberlakukan bukan saja bagi bangsa Eropa tetapi juga bagi semua umat manusia.
Alberico Gentili, dengan hasil karyanya De Jure
Belli Libri Tres tahun 1598. Hasil pemikirannya lainnya adalah studi
tentang hukum perang, doktrin perang adil, pembentukan traktat, hak-hak budak
dan kebebasan di laut (Ibid: 35-36).
Pada abad ke l5 dan 16, telah terjadi penemuan dunia baru, masa pencerahan ilmu dan
reformasi yang merupakan revolusi keagamaan yang telah memporakporandakan
belenggu kesatuan politik dan rohani di Eropa dan menguncangkan
fundamen-fundamen umat Kristen pada abad pertengahan.
Para ahli hukum pada abad tersebut telah mulai
memperhitungkan evolusi suatu masyarakat negara-negara merdeka dan memikirkan
serta menulis tentang berbagai macam persoalan hukum bangsa-bangsa. Mereka
menyadari perlunya serangkaian kaidah untuk mengatur hubungan antar
negara-negara tersebut. Andai kata tidak terdapat kaidah-kaidah kebiasaan yang
tetap maka para ahli hukum wajib menemukan dan membuat prinsip-prinsip yang
berlaku berdasarkan nalar dan analogi. Mereka mengambil prinsip-prinsip hukum Romawi
untuk dijadikan pokok bahasan studi di Eropa. Mereka juga menjelaskan
preseden-preseden sejarah kuno, hukum kanonik, konsep semi teologis dan serta
hukum alam. (Starke, J.G. ;op. cit.: 11).
Diantara penulis-penulis pelopor itu antara
lain adalah Hugo De Groot atau Grotius, Vittoria (1480-1546), Belli (1502-1575), Brunus
(1491-1563), Fernando Vasgues de Menchaca (1512-1569), dan Ayala (1548-1617). Tulisan-tulisan para
ahli hukum ini yang terpenting adalah pengungkapan bahwa satu pokok perhatian
hukum internasional pada abad ke-16 adalah hukum perang antar negara, dan dalam
kaitan eropa telah mulai menggunakan tentara tetap, suatu praktek yang tentunya
menyebabkan berkembang adat-istiadat dan praktek-praktek peperangan yang
seragam.
Francisco Suares (1548-1617), yang
menulis buku De Legibus ae Deo Legislatore (on Laws and Good as Legislator)
yang mengemukakan adanya suatu hukum atau kaidah objektif yang harus diikuti
oleh negara-negara dalam hubungan antar mereka. Ia juga meletakkan dasar suatu ajaran hukum
internasional yang meliputi seluruh umat manusia dan gentilis.
Hugo De Groot atau Grotius (1583-1645), orang yang paling berpengaruh atas
keadaan hukum internasional moderen dan dianggap sebagai Bapak Hukum
Internasional. Karyanya yang terkenal adalah buku on the law of war and peace (de jure Belli ac
Pacis) tahun 1625. Hasil karyanya itu menjadi karya acuan bagi para penulis
selanjutnya serta mempunyai otoritas dalam keputusan-keputusan pengadilan. Sumbangan pemikirannya bagi perkembangan
hukum internasional adalah pembedaan antara hukum alam dengan hukum
bangsa-bangsa. Hukum bangsa-bangsa berdiri sendiri terlepas
dari hukum alam, dan mendapatkan kekuatan mengikatnya dari kehendak
negara-negara itu sendiri. Beberapa doktrin Grotius bagi perkembangan hukum
internasional moderen adalah pembedaan antara perang adil dan tidak adil,
pengakuan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan individu, netralitas terbatas,
gagasan tentang perdamaian,
konferensi-konferensi periodik antara pengusa-penguasa negara serta kebebasan di laut yang termuat dalam buku Mare Liberium
tahun 1609.
Samuel
Pufendorf (1632-1694) dalam buku De Jure Nature Et Gentium
menyatakan bahwa hukum internasional dibentuk atas dasar hak-hak alamiah universal
dan perang sebagai alat hanya
dapat disahkan melalui syarat-syarat yang ketat. Zouche (1590-1660), penganut aliran positivisme, lebih memberikan
perhatian pada hukum internasional dalam keadaan damai dari pada hukum perang. (Tontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar; op. cit: 39).
0 komentar:
Posting Komentar