“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-undang ini.
Perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974
tidak hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum yang menimbulkan
akibat-akibat hukum, akan tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan, sehingga
sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan menurut agama dan kepercayaan
masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan.
Oleh karena itu maka sah tidaknya suatu perkawinan
menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 diukur dengan ketentuan hukum agama dan
kepercayaan masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan. Suatu perkawinan
adalah sah apabila dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun hukum agamanya
dan kepercayaannya itu. Demikianlah kebanyakan pendapat para ahli hukum dan sarjana
hukum yang dianut oleh umat islam Indonesia . Sehingga menurut
pendapat ini, pencatatan perkawinan hanyalah merupakan tindakan administratif belaka, bukan menentukan sah
tidaknya perkawinan. Akan tetapi para ahli dan sarjana hukum serta golongan
yang selama ini tunduk dan melaksanakan Perkawinan berdasarkan
ketentuan-ketentuan dalam BW dan HOCI, dimana perkawinan hanya dapat dibuktikan
dengan akta perkawinan mempunyai pendapat lain yang menyatakan bahwa pencatatan
perkawinan menentukan sah tidaknya perkawinan.
Menurut pendapat ini, kedua ayat dari pasal 2 UU No. 1
tahun 1974 tersebut harus dibaca sebagai satu
kesatuan. Artinya perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan
kepercayaan itu segera disusul dengan pencatatan, karena sebagaimana ditentukan
pasal 100 BW dan pasal 34 HOCI, akta perkawinan adalah bukti satu-satunya suatu
perkawinan.
0 komentar:
Posting Komentar