Merek telah lama digunakan sebagai alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dari barang atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan lainnya, atau memberi tanda terhadap produk yang dihasilkannya. Merek mempunyai peranan sangat penting bagi pemilik suatu produk. Karena fungsi merek adalah untuk membedakan barang atau jasa yang mempunyai kriteria dalam kelas barang atau jasa yang sejenis yang diproduksi oleh perusahaan yang berbeda.
Merek sebagai salah satu wujud karya intelektual memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan perdagngan dan investasi. Merek (dengan brand image-nya) ddapat memenuhi kebutuhna konsumen akan tanda pengenal atau daya pembeda yang teramat penting dan merupakan jaminan kualitas produk atau jasa dalam suasana persaingan bebas. Oleh karena itu merek dapat merupakan asset individu maupun asset perusahaan yang dapat menghasilkan keuntungan yang besar, tetunya apabila didayagunakan dengan memperhatikan aspek bisnis dan proses menejemen yang baik.
Dengan demikian dibutuhkan sebuah legalitas merek dalam bentuk perturan perundang-undangan. Di Indonesia merek telah lama diatur dalam UU No.21 Tahun 1961, kemudian UU ini dacabut dan digantikan dengan UU No. 19 Tahun 1992 tentang “Merek”. Selanjutnya pada tahun 1997 UU ini diperbaharui dengan UU No. 14 Tahun 1997.
Era perdagangan global hanya dapat dipertahankan apabila persaingan usaha terjadi secara sehat. Disini merek memegang peranan yang sangat penting yang memerlukan system pengaturan yang lebih memadai, oleh karena itu seluruh UU di atas dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan UU baru, yaitu UU No.15 Tahun 2001. hal ini juga berdasarkan perjanjian-perjanjian Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Diantara perjanjian itu adalah perjanjian WTO (Aggrement on Establishing The World Trade Organization) melalui perjanjian TRIPs pada 15 April 1994. selain itu juga telah meratifikasi Paris Convention for The Protection of Industrial Property dan Trademark Law Treaty (TLT).
Adanya UU yang memayungi merek ini diharapkan setiap orang atau badan hokum yang memilki merek mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum. Akan tetapi dengan keadaan social masyarakat yang sedang terpuruk, pelanggaran merekpun menjadi lahan untuk memenuhi kebutuhan, seperti peniruan merek dagang, pemalsuan merek dagang dan sebagainya. Contoh kasus di desa Manyargading, Kalinyamatan, tertangkapnya Sukardi (41) karena diduga megedarkan rokok palsu merek 'S', Selasa (9/5). Polisi menyita 630 bal berisi 8.820 bungkus rokok dan Honda Supra Fit K-2890-DC, sebagai barang bukti.
Kasus di atas juga tidak lepas dari desa Robayan, Kalinyamatan yang notabenenya banyak home industry rokok. Masih banyaknya perusahaan-perusahaan rokok yang mereknya belum terdaftar secara resmi, hal ini dapat menimbulkan negative impact, munculnya tindak pidana bidan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) dan sebagainya. Maka diperlukan penyuluhan atau pelatihan agar merek-merek yang telah ada menjadi “legal”, mengingat minimnya pengetahuan masyarakat tentang HKI, khususnya tentang legalitas merek.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar