Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwasannya di dalam hukum Islam belum mengenal istilah Hak Kekayaan Intelektual, penulis menyimpulkan untuk istilah HKI lebih mengarah kepada hak ciptanya saja dan tidak seluas pembagian HKI dalam Hukum Positif.
Hak cipta dalam khazanah Islam Kontemporer dikenal dengan istilah (Haq al-Ibitkar). Kata ini terdiri dua rangkaian kata yaitu ladaz “Haq” dan “al-Ibtikar”. Diantara pengertian dari “Haq” adalah kekhususan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu karya cipta yang baru diciptakan (al-Ibtikar).
Kata (Ibtikar) secara etimologi berasal dari bahasa Arab dalam bentuk isim masdar. Kata kerja bentuk lampau (Fi’il Madhi) dari kata ini adalah (Ibtikara) yang berarti menciptakan. Jika dikatakan (Ibtikara Asy-Syai’a) berarti ia telah menciptakan sesuatu.[i]
Sedangkan menurut terminologi Haq al-Ibtikar adalah “hak istimewa atas suatu ciptaan yang pertama kali diciptakan”. Fathi Ad-Dhuraini mendefinisikannya dengan gambaran pemikiran yang dihasilkan seorang ilmuan atau terpelajar dan semisalnya melalui pemikiran dan analisisnya, hasilnya merupakan penemuan atau kreasi pertama dan belum ada seorang ilmuan pun yang mengemukakan sebelumnya.[ii]
Definisi ini menjadi rujukan dalam pembahasan tentang hak cipta, yaitu: “Hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Kemudian juga bahwa hak cipta sangat terkait sekali dengan hak milik yang dimana hak milik dalam bahasa Arab disebut dengan “Al-Milku” diartikan sebagai sifat penggabungan kekayaan oleh manusia lalu menjadikannya eksklusif bagi dirinya sendiri. Banyak sekali definisi-definisi milik yang disebutkan ulama-ulama fiqh, tetapi dari sekian banyak definisi itu pada dasarnya memiliki substansi yang hampir sama. Salah satunya adalah Wahbah Zuhaili (Lahir 1351 H/1932 M, Syiria) memilih satu definisi yang paling tepat yaitu: Milik adalah keistimewaan (astishash) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharuf secara langsung kecuali ada halangan syar’i".[iii]
Jadi pada prinsipnya atas dasar “Milkiyah” (pemilikan) seseorang mempunyai keistimewaan berupa kebebasan dalam bertasharuf (berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu) kecuali ada halangan tertentu yang diakui oleh syara’.[iv]
1. Sejarah Hak Cipta
Dalam hukum Islam klasik tidak ada pembahasan tentang hak cipta, terutama pada awal pembentukan hukum Islam. Sejarah dan perkembangan hak cipta terjadi di luar dunia Islam, yaitu pada awal abad ke-19 hal inilah yang menjadikan sebagai cendekiawan muslim menyatakan bahwa konsep hak cipta berasal dari kapitalis yang terlalu mementingkan materi. Dalam sejarah awal tercatat beberapa negara Islam yang telah mengeluarkan berbagai peraturan mengenai perlindungan tentang hak cipta, diantara negara tersebut adalah:
a. Kekhalifahan Turki Ustmani pada tahun 1910 telah mengeluarkan Qonun Hak At-Ta’lif (UHC karya tulis).
b. Maroko pada tahun 1916 menetapkan Qonun Al-Maghribi (UU Maroko).
Karena tidak ada pembahasan dari ulama klasik, maka para cendekiawan muslim kontemporer membahasnya dalam ruang lingkup Masail Fiqhiyah (Studi Fiqh Kontemporer). Fathi Ad-Dhuraini membahas secara khusus dalam bukunya Al-Fiqh Al-Islami Al-Muqaran ma’a Al-Mazahib pada bab Haq Al-Ibtikar Fi Al-Fiqh Al-Islami Al-Muqaran. Beliau mengatakan bahwa belum ada satu cendekiawanpun yang membahas masalah ini secara terperinci pada masa-masa sebelum ini, kecuali Imam Al-Qarafi (w.684 H/1285 M) dalam kitab Al-Furuq.[v]
Pembahasan yang komprehensif adalah pertemuan Majma’ Fiqh Al-Islamy di kuwait tahun 1988, yang memutuskam dan menetapkan mengenai Hak Kekayaan Intelektual termasuk didalamnya hak cipta keputusan atau ketetapan (Qoror) dari majelis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy tersebut menyebutkan bahwa secara umum, hak atas suatu karya ilmiah, hak atas merek dagang dan logo dagang merupakan hak milik yang keabsahannya dilindungi oleh syari’at Islam yang merupakan kekayaan yang menghasilkan pemasukan bagi pemiliknya khususnya dimasa kini merupakan ‘urf yang diakui sebagai jenis dari suatu kekayaan di mana pemiliknya berhak atas semua itu. Boleh diperjual-belikan dan merupakan komoditi.[vi]
Dalam konfrensi negara-negara Islam, pada forum Neenteenth Islamic Conference Foreign Ministers di kairo yang berlangsung tanggal 31 Juli–05 Agustus 1990 mengatakan bahwa Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan salah satu hak asasi manusia dalam Islam.[vii]
Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang “Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual” pada musyawarah nasional VII tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. Bertepatan dengan 26-29 Juli 2005 M. Pada fatwa tersebut menyebutkan bahwa pelanggaran hak atas kekayaan intelektual adalah suatu kezaliman dan hukumnya haram. Dalam fatwa tersebut termasuk kekayaan intetelektual adalah berbagai hak atas kekayaan intelektual termasuk perlindungan terhadap hak cipta.[viii]
Berdasarkan sejarahnya maka konsep hak cipta adalah hasil pemikiran yang tumbuh dan berkembang di wilayah non-Islam, pada awalnya ia hanya berupa perlindungan bagi penerbit buku, namun setelah banyak didominasi oleh paham kapitalis. Konsep ini kemudian menyebar keseluruh penjuru dunia dan masuk kedalam khazanah hukum Islam. Islam dengan sifat hukumnya yang universal memberikan jawaban-jawaban terhadap masalah ini. Islam memiliki konsep tersendiri mengenai hak cipta yang tidak sama dengan ideologi lainnya
2. Jenis-Jenis Hak Cipta Yang Dilindungi
Konsep hak cipta dalam Islam berbeda dengan konsep hak cipta pada sistem lainnya. Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah menusia selalu mengedepankan kemashlahatan manusia, sehingga setiap segala sesuatu yang akan merusak fitrah manusia maka Islam melakukan tindakan preventif dalam bentuk larangan untuk mendekatinya atau memberikan justifikasi bahwa hal tersebut dilarang (haram atau makruh).
Dari sini dapat dikatakan bahwa Islam hanya mengakui dan melindungi karya cipta yang selaras dengan norma dan nilai yang ada di dalamnya. Jika karya cipta tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka ia tidak diakui sebagai “karya cipta” bahkan perlindungan terhadap karya cipta pun tidak ada.
Sebagai contoh karya cipta yang membawa kepada jalan kemusyrikan, seperti berhala-hala, lukisan-lukisan ytang mengumbar aurat, buku-buku yang mengandung berbagai kesyirikan, penyembahan kepada thagut, pendewaan, mengajak kepada dosa besar, nyanyian-nyanyian yang mengajak kepada kemaksiatan dan lainnya. Semua jenis “karya cipta” tersebut tidaklah diakui sebagai sebuah karya cipta dalam Islam, lebih tegas lagi karya cipta tersebut harus dijauhkan dan dimusnahkan dari masyarakat Islam.
Perlindungan terhadap hak cipta dalam Islam jelas berbeda dengan yang ada dalam hukum positif, terkadang sebuah karya intelektual dalam pandangan Islam haram hukumnya namun tetapi tidak “haram” menurut sebagian undang-undang positif, seperti video yang mengambar aurat, film-film yang merusak aqidah, menghina Islam atau nabi dan yang lainnya. Semua karya cipta tersebut tidak dianggap harta oleh Islam,[ix] tetapi tetap dianggap harta yang dilindungi menurut undang-undang dalam hukum positif.
Dengan demikian perlindungan terhadap hak cipta dalam Islam memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu karya cipta dapat diakui sebagai hak kepemilikan atas harta. Syarat-syarat tersebut terkait erat dengan karya cipta yang merupakan media penuangan dari gagasan pencipta.
Diantara sayarat-syaratnya adalah:
a. Tidak mengandung unsur-unsur haram didalamnya seperti khamar, riba, judi, daging babi, darah, dan bangkai.
b. Tidak menimbulkan kerusakan di masyarakat seperti pornografi, kekerasan, mengajak umat untuk berbuat dosa merusak lingkungan dan lain sebagainya.
Tidak bertentangan dengan syariat Islam secara umum seperti pembuatan berhala yang akan disembah manusia, gambar-gambar yang merusak akhlak, buku-buku yang mengajarkan ajaran sesat, penyimpangan-penyimpangan manhaj, mengajak kepada kesyirikan dan yang lainnya.
Selain dari segi materi (zat) karya cipta, maka tidak dilindunginya sebuah karya cipta juga berhubungan cara mendapatkan karya cipta tersebut. Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa Islam tidak melindungi kepemilikan harta benda yang diperoleh dengan jalan yang haram dan melindungi hak milik yang diperoleh dengan jalan yang halal. Berciri jenis-jenis yang dilindungi oleh Islam, yaitu:
a. Diambil dari sumber yang tidak ada pemiliknya, misalnya barang tambang, menghidupkan tanah mati, berburu, mencari kayu bakar.
b. Diambil dari pemiliknya secara paksa karena adanya unsur halal, misalnya harta rampasan, dan pengambilan zakat.
c. Diambil secara sah dari pemiliknya dan diganti misalnya dalam jual beli dan berbagai bentuk perjanjian,
d. Diambil secara sah dari pemiliknya dan tidak ada iwadh misalnya hadiah.
e. Diambil tanpa diminta, misalnya harta warisan.
Jenis-jenis harta tersebut dikaitkan dengan hak cipta maka setiap karya cipta yang diperoleh dengan cara yang haram maka ia menjadi haram untuk digunakan. Sebagaimana harta yang diperoleh dengan cara yang haram. Implikasinya bahwa karya cipta yang diperoleh dengan cara yang haram maka tidak dilindungi sebagai hak dalam Islam.
[i]A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) h. 101.
[ii]Fathi Ad-Duraini, Buhust Muqaraah fi al-Fiqh al-islami wa Ushuluh. (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1414 H/1994 M). cet. I, jilid II, h. 9.
[iii]Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, sebagaimana dikutip oleh Ghufran A. Mas’adi, M. Ag, Fiqh Muamalah Konstektual, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), h. 54-55.
[iv]Ibid.
[v]Fathi Ad-Duraini, Buhust Muqaraan fi al-Fiqh al-islami wa Ushuluh. (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1414 H/1994 M). cet. I, jilid II, h.22.
[vi]http://www.Ummujib.multiply.com/journal/item/65.com. Artikel di akses pada 15 Januari 2011.
[vii]Handi Nugraha, Tujuan Perlindungan Hak Moral dalam UHC, Tesis Fakultas Hukum Pasca Sarjana UI, (Jakarta: Fakultas Hukum Pasca Sarjana UI, 2005). h. 96, t.d.
[viii]Lihat keputusan Fatwa M.U.I nomor: 1/Munas VII/MUI/15/2005 tentang Perlindungan HKI.
[ix]Yusuf al-Qardhawi, Daur al-Qoyim wa al- Akhlak fi al-Iqtishadi al-Islamy, (Norma dan Etika Ekonomi Islam), (Jakarta: Gema Insani Press, 2001). h. 89.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar